Uang Darurat |
Bagi perantau sepertiku tidak asing lagi dengan yang namanya 'uang darurat' atau juga ada yang menyebutnya dengan istilah 'uang mati'. Ya, disebut 'uang darurat' atau 'uang mati' karena uang ini hanya boleh digunakan dalam keadaan yang benar-benar darurat, lebih tepatnya uang ini adalah uang simpanan terakhir yang digunakan perantau untuk pulang ke kampung halaman ketika mendapat kabar (baik itu kabar baik ataupun kabar buruk) dari kampung halaman yang mengharuskan si perantau untuk pulang ke kampung halaman dengan segera. Pulang ke kampung halaman yang dimaksud di sini jangan disama artikan dengan ritual mudik atau pulang kampung ketika Hari Raya Idul Fitri (atau Hari Raya menurut kepercayaan masing-masing) atau pulang kampung dengan tujuan liburan atau refreshing.
Sebagai contoh, ketika kita sedang berada di perantauan lalu tiba-tiba kita mendapat kabar dari kampung halaman yang mengabarkan bahwa orang tua kita menderita sakit keras atau (mohon maaf) meninggal dunia. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita sebagai anak pasti akan melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman dengan segera. Nah, di saat yang seperti ini 'uang darurat' baru bisa dipergunakan.
Berapa besar nominal 'uang darurat' tersebut? Setiap orang berbeda-beda, tetapi secara garis besar ada dua variabel penentunya, yang pertama yaitu jarak antara domisili si perantau dengan kampung halaman dan yang kedua adalah berapa jumlah tanggungan si perantau.
Contoh variabel pertama, misal si perantau saat ini berdomisili di daerah Jakarta dan letak kampung halaman berada di daerah Kota Agung, salah satu tempat yang berada di salah satu kabupaten di provinsi Lampung. Besar nominal dari variabel ini adalah nominal rupiah yang dikeluarkan untuk perjalanan dari Jakarta menuju Kota Agung untuk satu kali perjalanan. Dan untuk memastikan nominalnya cukup sebaiknya dialokasikan dana senilai perjalanan di rute tersebut dengan tarif kelas utama.
Untuk variabel kedua adalah berapa jumlah tanggungan yang ditanggung oleh si perantau. Jika status si perantau masih lajang atau belum berkeluarga maka besar nominal pada variabel pertama dikalikan satu, karena si perantau hanya menanggung dirinya sendiri. Lain halnya jika si perantau sudah berkeluarga, maka besar nominal uang darurat dikalikan dengan berapa jumlah jiwa yang ia tanggung.
Hmm, kurang lebihnya seperti itu apa yang dimaksud dengan 'uang darurat' atau 'uang mati', aku harap teman-teman terutama yang perantau sudah mempersiapkan dan mengalokasikan dana untuk hal seperti itu, karena pasti sangat berguna pada suatu hari nanti, dan tidak kaget, bingung atau sibuk mencari pinjaman kesana-kemari pada saat-saat penting seperti itu. Oke deh, semoga bermanfaat. ^,^
terbaik. ^,^
BalasHapusyeah, terbaik. ^,^
Hapus